Science
KORUPSI !
Korupsi
berasal dari kata korup ( corrup )
yang berarti jahat, busuk, atau mudah di suap. Jadi, korupsi adalah sikap dan
perbuatan tidak jujur dengan jalan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau kelompok orang uang merugikan negara atau
perusahaan tempat ia bekerja. Orang yang melakukan korupsi disebut koruptor.
Pengertian korupsi menurut Pasal 2
Ayat ( 1 ) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Tindak Pidana Korupsi adalah “setiap orang yang melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat
merugikan negara atau perekonomian negara“ .
Pengertian melawan hukum dalam
tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan – perbuatan tercela yang
menurut perasaan peredilan masyarakat harus di tuntut pidana. Tindak pidana
korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Dengan rumusan
secara formil yang di muat dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi maka meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke
pengadilan dan tetap di pidana.
Undang – Undang Tindak Pidana
Korupsi menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang,
yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang di duga mempunyai hubungan dengan perkara yang nersangkutan dan
penuntut umum tetep berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Selain itu Undang – Undang Tindak
Pidana Korupsi memberikan kesempatan yang seluas – luasnya kepada masyarakat
untuk berperan serta membantu upaya penvegahan dan pemberantasan korupsi dan
kepada anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan
hukum dan penghargaan.
Korupsi telah menjadi pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) paling serius di Indonesia. Mulai dari pusat sampai
desa, korupsi menjadi pelanggaran kolosal yang mengenaskan. Hukum saja
dipermainkan para mafia dan koruptor yang sedang menggerogoti negeri tercinta
ini.
Harta negara yang sedianya digunakan
untuk meningkatkan pendidikan, kesejahteraan, dan kesehatan rakyat, justru
malah dinikmati segelintir orang. Inilah tragedi yang memilukan bangsa ini!
Jaringan mafia korupsi yang semakin brutal ini harus menjadi catatan krusial
bagi dunia pendidikan di Indonesia. Karena mereka yang berjibaku dalam dunia
mafia bukanlah mereka yang tak terdidik. Justru mereka adalah kaum cerdik yang
telah dibesarkan oleh dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Kaum mafia bukan
tidak mengerti tentang korupsi dan akibat buruknya. Tetapi mereka bahkan lebih
mengerti dampak destruktifnya bagi masa depan negara.
Gayus dan kawan-kawan adalah kaum
akademikus yang cerdik, sehingga dipercaya menangani masalah pajak. Pendidikan
di Indonesia telah terjebak sebagai “alat kekuasaan". Pendidikan yang
tadinya netral, tidak memihak, dan obyektif, berubah menjadi ajang pertarungan
kekuasaan yang penuh interest, konflik, dan bahkan sering kali dimuati
dengan kepentingan ideologis yang bersifat memihak dan subyektif.
Dalam kondisi demikian, pendidikan
yang tadinya menjadi sarana mencari kebenaran dan autentisitas diri manusia
berubah menjadi sarana “pembenaran" dan arena pencarian jati diri yang
semu, abstrak, dan jauh dari nilai moralitas kemanusiaan. Dalam keterpautan
ekonomi, pendidikan saat ini hanya dijadikan sebagai lembaga “pengeruk"
kekayaan belaka, tidak peduli kondisi kemiskinan yang sedang mendera bangsa.
Terjebak dalam permainan kekuasaan dan ekonomi, membawa pendidikan bangsa ini
pada lubang hitam paling dalam.
Terbukti, mereka, tersangka dan
terdakwa dalam berbagai kasus korupsi adalah kaum elite berdasi. Mereka adalah graduated
dari lembaga pendidikan tinggi kita. Semakin banyak lulusan perguruan tinggi,
bukannya semakin maju negeri ini, tetapi justru malah semakin subur korupsi dan
semakin jelas lonceng kematian demokratisasi. Lembaga pendidikan menjadi
pencetak koruptor paling prestisius setiap saat, bahkan setiap detik akan
menghadang laju kemajuan bangsa.
Korupsi para kaum berdasi memang
telah membawa konstruksi titik nadir kematian bangsa, sehingga dalam suatu
kesempatan A Syafi‘i Ma‘arif (2005) mengatakan, kerusakan bangsa Indonesia
akibat korupsi sudah hampir sempurna, dan sebentar lagi. Franz Magnis-Suseno
mengungkapkan, Indonesia tinggal menunggu waktu tergelincir dan masuk jurang.
Dari fenomena demikian, apa yang
harus dilakukan lembaga pendidikan, untuk tidak hanya menghapus stereotip
pencetak koruptor, namun juga membangun ideologi kehidupan yang antikorupsi?
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun ideologisasi
pendidikan antikorupsi.
Pertama, menempatkan pendidikan sebagai
saran membentuk karakter. Atau dalam bahasa pedagog Jerman, FW Foerster
(1869-1966), kita harus menciptakan pendidikan karakter. Dalam pandangan
Foester, ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter; keteraturan interior
di mana setiap tindakan di ukur berdasarkan hierarki nilai, koherensi yang
memberi keberanian, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada
situasi baru atau takut risiko, memberikan otonomi dalam menginternalisasikan
aturan luar menjadi nilai bagi pribadi, dan membangun keteguhan dan kesetiaan
dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan (Doni Kusuma, A: 2006). Kematangan
empat nilai dasar Foerster tersebut akan membangun forma seorang pribadi dalam
segala tindakannya. Sosok pribadi tangguh yang siap menerjang ketimpangan yang
melanda masyarakat, khususnya korupsi.
Kedua, setelah tercipta karakter, maka
perlu membangun kurikulum yang selalu mengutuk korupsi sebagai kemungkaran
sosial. Dalam setiap materi pelajaran, seorang guru seharusnya tidak hanya
menjelaskan makna tekstual teori ilmu pengetahuan, namun juga mampu
mengontekstualkan dengan fenomena ketimpangan sosial yang terjadi di
masyarakat. Dengan integrasi teori dan realitas, maka kurikulum pendidikan,
selain tidak menjemukan siswa, juga mampu mengantarkan mereka menuju hamparan
pengetahuan yang begitu luas dan dahsyat. Mereka tidak hanya kaya dengan
pengetahuan, melainkan juga pengalaman hidup sebagai bekal di masa depan.
Ketiga, melakukan aksi nyata dalam
pemberantasan korupsi. Aksi nyata ini bisa bekerja sama dengan lembaga
peradilan yang menyeret para koruptor atau lembaga swadaya masyarakat yang
perhatian terhadap kebijakan pemberantasan korupsi. Tetapi aksi ini tampaknya
akan sulit di laksanakan, karena korupsi telah menghinggappi struktur hukum
kita (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan). Hal ini dinyatakan oleh Daniel
Kaufmann, seorang pengamat hukum dan kelembagaan hukum di negara-negara
berkembang, dalam surveinya tentang bureaucratic and judicial bribery
(penyuapan pada birokrasi dan lembaga pengadilan). Dia menegaskan bahwa
penyuapan dalam sistem peradilan di Indonesia merupakan yang tertinggi, jika
dibandingkan dengan negara-negara
yang dikenal dikuasai oleh agen dan mafia narkotika semacam Coulombia, Venezuela, atau bekas negara komunis seperti Ukraina dan
Rusia, atau negara
semi dictator semisal Mesir atau Yordania.
Dalam korupsi di peradilan, korupsi sudah sampai pada seluruh tahapan peradilan. Begitu juga dalam kepolisian. Upaya kepolisian yang pernah menyatakan diri sebagai “pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat” tampaknya belum sepenuhnya dirasakan secara nyata.Mereka yang pernah berinteraksi dengan polisi pasti pernah merasakan bagaimana model transaksi hukum yang hamper pasti selalu dilakukan dalam menyelesaikan setiap kasus.Melihat realitas para penegak hukum tersebut dapat menggiring kita mendekati titik frustasi (hopeless). Sebelum mimpi buruk tersebut benar-benar datang, sesungguhnya masih tersisa secercah harapan pada penguatan gerakan hukum secara kultural dalam pengertian yang luas. Penguatan model demikian itu dapat dimulai dari beberapa langkah:
Pertama, membebaskan diri dari hukum dogmatic ala Begriffsjurisprudenz.
Kedua, mekanisme hukum (termasuk pembentukan lembaga quasi negara/ state
auxiliary bodies semisal Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK, Komisi Kepolisian dan lain-lain) hanya menawarkan tindakan repressif bagi pemberantasan korupsi.
Ketiga, akselerasi proses demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Keempat, relasi agama-hukum-negara. Beberapa faktor penyebab korupsi antara lain pertama sikap permisif yakni menganggap korupsi sebagai hal biasa saja, seharusnya memang masyarakat melakukan perlawanan .Kedua yakni skeptis, yakni warga Indonesia menganggap sulit memberantas korupsi, alhasil terbawa arus dan akhirnya kejujuran menjadi hal aneh di Indonesia, apalagi dijelaskannya masyarakat saat ini terjebak dalam hedonis dan konsumeristis.Ketiga peraturan perundangan yang tumpang tindih serta lemahnya penegakan hokum yang tumpul. Pengadilan yang tidak sebanding sehingga tidak ada efek jera bagi para koruptor berbeda dengan Cina yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor.Selain itu kurangnya keteladanan kepemimpinan, baik aparat pusat maupun daerah. Belum lagi negara tidak memberikan jaminan yang baik dan penghasilan yang baik kepada masyarakatnya. Dengan aksi nyata itu, siswa atau bahkan para mahasiswa akan melihat secara riil kenyataan korupsi di Indonesia dan menjelaskan pada mereka bahwa para koruptor tersebut adalah kaum berdasi yang telah menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang paling tinggi. Dengan begitu, anak didik akan “tertampar" untuk bangkit mengembalikan moralitas pendidikan dan akhirnya akan berdedikasi secara positif terhadap kelangsungan bangsa.
Dalam korupsi di peradilan, korupsi sudah sampai pada seluruh tahapan peradilan. Begitu juga dalam kepolisian. Upaya kepolisian yang pernah menyatakan diri sebagai “pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat” tampaknya belum sepenuhnya dirasakan secara nyata.Mereka yang pernah berinteraksi dengan polisi pasti pernah merasakan bagaimana model transaksi hukum yang hamper pasti selalu dilakukan dalam menyelesaikan setiap kasus.Melihat realitas para penegak hukum tersebut dapat menggiring kita mendekati titik frustasi (hopeless). Sebelum mimpi buruk tersebut benar-benar datang, sesungguhnya masih tersisa secercah harapan pada penguatan gerakan hukum secara kultural dalam pengertian yang luas. Penguatan model demikian itu dapat dimulai dari beberapa langkah:
Pertama, membebaskan diri dari hukum dogmatic ala Begriffsjurisprudenz.
Kedua, mekanisme hukum (termasuk pembentukan lembaga quasi negara/ state
auxiliary bodies semisal Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK, Komisi Kepolisian dan lain-lain) hanya menawarkan tindakan repressif bagi pemberantasan korupsi.
Ketiga, akselerasi proses demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Keempat, relasi agama-hukum-negara. Beberapa faktor penyebab korupsi antara lain pertama sikap permisif yakni menganggap korupsi sebagai hal biasa saja, seharusnya memang masyarakat melakukan perlawanan .Kedua yakni skeptis, yakni warga Indonesia menganggap sulit memberantas korupsi, alhasil terbawa arus dan akhirnya kejujuran menjadi hal aneh di Indonesia, apalagi dijelaskannya masyarakat saat ini terjebak dalam hedonis dan konsumeristis.Ketiga peraturan perundangan yang tumpang tindih serta lemahnya penegakan hokum yang tumpul. Pengadilan yang tidak sebanding sehingga tidak ada efek jera bagi para koruptor berbeda dengan Cina yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor.Selain itu kurangnya keteladanan kepemimpinan, baik aparat pusat maupun daerah. Belum lagi negara tidak memberikan jaminan yang baik dan penghasilan yang baik kepada masyarakatnya. Dengan aksi nyata itu, siswa atau bahkan para mahasiswa akan melihat secara riil kenyataan korupsi di Indonesia dan menjelaskan pada mereka bahwa para koruptor tersebut adalah kaum berdasi yang telah menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang paling tinggi. Dengan begitu, anak didik akan “tertampar" untuk bangkit mengembalikan moralitas pendidikan dan akhirnya akan berdedikasi secara positif terhadap kelangsungan bangsa.
Keempat, mendirikan arus baru lintas
sektoral pendidikan. Dalam arti, perlu upaya gerakan masif di berbagai lembaga
pendidikan pusat maupun daerah dalam menentang ulah para koruptor. Gelombang
arus baru tersebut akan selalu diliput media dan nantinya lama kelamaan akan
menjadi mainstream pemikiran kemanusiaan masa depan. Dengan menjadi mainstream
baru, maka pendidikan antikorupsi bukan sekadar wacana, namun sebuah gerakan
yang memang sangat diperhitungkan untuk kelangsungan masa depan bangsa.
Beberapa langkah ideologisasi tersebut harus menjadi refleksi bersama bangsa
sebagai wujud tanggung jawab global atas berbagai kemelut yang selalu menimpa
bangsa.
Post a Comment
1 Comments
HAdir di sini untuk meramaikan blog agan,
ReplyDeleteSalam Kangdansen!
Komentar sobat sangat saya harapkan untuk evaluasi saya, tetapi saya mohon berkomentarlah yang sopan, sesuai dengan tema postingan, dan mohon jangan memasang link aktif !